Program Biodiesel, Bisakah jadi Momentum Benahi Rantai Pasok Sawit?
Mongabay.co.id | Sabtu, 8 Mei 2021
Program Biodiesel, Bisakah jadi Momentum Benahi Rantai Pasok Sawit?
Program biodiesel harusnya jadi momentum membenahi rantai pasok dalam industri sawit Indonesia. Banyak pihak berharap program ini dapat melibatkan petani swadaya mandiri dan pelaksanaan harus transparan. Ricky Amukti, Manajer Riset Traction Energy Asia, mengatakan, kebijakan biodiesel momentum membenahi rantai pasok sawit dengan melibatkan petani swadaya. Langkah ini, katanya, bisa memaksimalkan keuntungan bagi petani dalam menjual tandan buah segar ke pabrik sawit. Hal terpenting lagi, katanya, pekebun sawit, termasuk petani swadaya perlu melakukan intensifikasi lahan sebagai upaya penurunan risiko pembukaan lahan baru. Saat ini, produktivitas petani swadaya masih relatif rendah. “Kalau kita bisa intensifikasi di petani swadaya dan petani swadaya dilibatkan, itu akan menurunkan deforestasi.” Kebijakan biodiesel, katanya, muncul karena ada kelebihan pasokan sawit di dalam negeri dan mendapat pelarangan impor dari Uni Eropa. “Jika biodiesel memiliki porsi lebih besar, maka perlu ada prioritas dalam menurunkan risiko deforestasi, salah satunya melalui peremajaan sawit rakyat. Itu yang harus diimbangi, peta jalan harus jelas jika bauran dalam biodesel harus diimbangi,” katanya. Selain itu, kata Ricky, penting ada upaya memasukkan peran petani swadaya ke rantai pasok biodiesel. Kebijakan biodiesel ini, katanya, harus dibuat inklusif dengan melibatkan petani swadaya yang bisa memasok tandan buah segar (TBS). Untuk itu, katanya, perlu ada keseimbangan antara kebijakan biodiesel dengan implementasi peremajaan sawit rakyat. Mansuetus Darto, Direktur Eksekutif Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengharapkan, masalah rantai pasok pada petani swadaya bisa terakomodir dalam program ini. Dari data SPKS, ada 5,5 juta hektar petani swadaya dari 6,7 juta hektar luas perkebunan sawit rakyat. “Program biodiesel sekarang belum memperbaiki ekonomi petani pekebunan swadaya dari konteks harga tadi. Rantai pasok tadi tidak berubah di lapangan, banyak petani masih menjual ke tengkulak dengan disparitas harga sekitar 30% dibandingkan harga pemerintah.” Saat ini, program biodiesel sudah mulai B30. Program ini, katanya, penting menyerap TBS petai sawit rakyat untuk mengurangi kelebihan produksi. Pelaksanaan program ini, katanya, harus mengakomodir prinsip hak asasi manusia, dalam konteks partisipasi petani dan memperoleh hak sama. “Jadi bagaimana program biodiesel ini bisa berhubungan mesra dengan petani swadaya dan bisa mensejahterakan petani.” Selain itu, penting ada pendampingan dan kelembagaan sawit bagi petani swadaya, antara lain agar bisa menjalankan standar ISPO. “Kuncinya, kelembagaan petani termasuk pada pelaksanaan peremajaan sawit.” Dia bilang, kelembagaan petani jadi kunci. Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPS), katanya, gagal dalam perencanaan masalah ini. “Dibuat secara teknokratik. Kunci peremajaan sawit rakyat itu adalah pendampingan.” Dana BPDPS, kata Darto, seharusnya untuk mendampingi petani dalam peremajaan sawit dan kelembagaan, serta penyiapan sertifikasi ISPO bagi petani swadaya. Mengenai pembukaan lahan baru, Effendi Manurung, Kasubdit Keteknikan dan Lingkungan Bioenergy Direktorat Energi baru Terbarukan dan Konservasi Energi, KESDM mengatakan, KESDM sangat tak setuju dengan perluasan perkebunan dengan ada program biodiesel. “Dari sisi bahan baku, ketersediaan bahan baku kita relatif masih bisa,” katanya. Saat ini, kebutuhan B30 sekitar 9,2 juta ton, tersedia ada 52 juta ton. Jadi, bahan baku masih sangat cukup namun perlu peningkatan produktivitas sawit dua atau tiga kali tanpa membuka lahan baru.
Transparansi
Nur Maliki Arifiandi, policy engagement manajer Disclosure Insight Action menekankan, transparansi dalam pengelolaan yang bertanggung jawab sawit Indonesia. Langkah ini, katanya, juga bentuk kontribusi pelaku usaha terhadap upaya pengurangan emisi tingkat global. Nur mengatakan, transparansi di Indonesia sejauh ini lebih banyak sukarela. Walaupun, katanya, sistem ISPO sudah memulai memasukkan biodiesel sebagai kewajiban. Langkah ini, kata Nur, bisa mejawab tantangan kalau sawit Indonesia tidak mau dikatakan sebagai sumber deforestasi. Meskipun begitu, katanya, perlu ada bahasan rantai pasok sawit dari hulu ke hilir terjaga. “Diharapkan dapat menjawab bagaimana kondisi sawit, produksinya dan bagaimana implementasi pengelolaan yang bertanggung jawab.” Keterbukaan informasi ini, katanya, tidak hanya pada level induk perusahaan namun harus sampai pada pemasok di lapangan. Ricky bilang, kebijakan biodiesel yang baik harus transparan dan sumber bahan baku terlacak untuk menghindarkan tuduhan-tuduhan negatif yang muncul hingga memiliki peluang pasar lebih besar. Selain itu, katanya, perlu ada masa setop pembukaan lahan untuk menghindari tuduhan terkait pembukaan lahan hingga meminimalkan debat isu lingkungan. Biodiesel ini, kata Ricky, emisi memang lebih rendah dari solar, tetapi ada beberapa faktor yang bisa membuat emisi jadi lebih tinggi. Pertama, pembukaan lahan, kedua, teknik menanam, ketiga, pemasangan metan capture. “Menurut saya agar biodiesel itu mau bagus ya harus transparan dan traceable. Syarat-syarat tadi harus dipenuhi.” Bisuk Abraham, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat–Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menyebutkan, agar sistem sertifikasi ISPO bisa mendapatkan kepercayaan publik perlu ada transparansi. Togar Sitanggang, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) mengatakan, pemerintah sedang menyusun sertifikasi rantai pasok sawit hingga produk hilir. “Mudah-mudahan Juli-Agustus, sudah keluar. Jadi, kami benar-benar komitmen untuk masalah keberlanjutan.” Pada 2019, sekitar 60% perusahaan sawit di Indonesia telah tersertiifkasi. Selama ini, katanya, berbicara ISPO hanya di tingkat perkebunan. “Pemerintah sedang menyiapkan regulasi hingga pada produk hilir, mungkin sampai pada biodiesel. Biodiesel kita bisa bersertifikat ISPO.”
Liputan6.com | Jum’at, 7 Mei 2021
Pertamina Tegaskan Jual Solar Industri dengan Harga Sesuai Ketentuan
Penjualan solar industri dengan harga di bawah ketentuan marak di platform jual beli e-commerce. Di salah satu e-commerce yang sering digandrungi masyarakat, tertera penjualan solar industri yang mencatut nama Pertamina. Harga yang ditawarkan di bawah ketentuan yang ditetapkan, yaitu Rp 6.650 per liter ada pula yang menawarkan harga Rp 7.200 per liter. Menanggapi hal tersebut, VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menegaskan, Pertamina selalu menjual solar industri dan bahan bakar lainnya sesuai ketentuan yang berlaku. “Pertamina selalu mengikuti ketentuan peraturan yang berlaku terkait formula harga. Di samping itu, produk Pertamina sumbernya jelas, terjamin kualitasnya dengan channel pemasaran yang juga jelas,” ujar Fajriyah saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (7/5/2021). Adapun menurut catatan Liputan6.com, harga dasar solar industri HSD Pertamina di area distribusi I hingga IV berkisar antara Rp 9.600 hingga Rp 9.850. Sedangkan untuk harga tebusnya mulai dari Rp 10.726 hingga Rp 11.365. Fajriyah juga menegaskan, penjualan produk solar industri Pertamina dilakukan secara business to business sehingga tidak dijual sembarangan. “Karena ini B2B, maka pembeliannya corporate to corporate atau perusahaan pengguna langsung ke Pertamina, dalam hal ini Subholding Commercial and Trading,” jelasnya. Fajriyah menegaskan, Pertamina tetap berkomitmen pada peraturan yang berlaku. “Kalau di luar Pertamina, mohon maaf, kami tidak bisa komentar. Karena badan usaha yang menjual solar industri bukan hanya Pertamina,” tandas Fajriyah.
Marak Solar Industri Dijual Murah di E-Commerce
Sebelumnya, Solar industri ditemukan dijual di e-commerce. Menariknya, harga jual Solar industri ini jauh lebih murah dibandingkan dengan harga resmi yang ditetapkan oleh PT Pertamina (Persero). Saat ini, harga solar industri yang dijual oleh Pertamina di kisaran Rp 10.000 per liter, tergantung dari wilayah penjualannya. Sedangkan harga di e-commerce jauh di bawah harga tersebut. Pantauan Liputan6.com di laman Tokopedia, Jumat (7/5/2021), penjual solar industri di Jakarta Timur menjualnya dengan harga Rp 6.650 per liter. Sedangkan penjual di Bekasi melego solar industri di harga Rp 7.200 per liter. Penjual solar industri di e-commerce tersebut tidak hanya ada di Jakarta dan sekitarnya saja tetapi juga ada di kota-kota lain seperti Surabaya dan Surakarta. Salah satu penjual menuliskan keterangan sebagai berikut: Kami mampu menjamin ketersediaan solar industri, baik supply besar maupun suplay kecil secara berkesinambungan, dengan mutu terjamin, harga yang bersaing dan pengiriman sesuai dengan permintaan klien. Minimum Order : 5000 Liter, Harga Sebelum Ppn, Bebas Ongkir untuk Wil Jabodetabek & Jawa Barat, Pembayaran Bisa CBD / COD, Harga : Negosiasi dengan harga bersaing, Dokumen Solar Industri : Lengkap & resmi , Mutu dan Kwalitas bahan bakar :Sesuai standart SK Dirjen Migas No. No.3675/K/24/DJM/2006, tahun 2006.