Home Uncategorized Harga Biodiesel B100 Selangit, Pengusaha Nilai B40 Saja Cukup

Harga Biodiesel B100 Selangit, Pengusaha Nilai B40 Saja Cukup

CNBCindonesia.com | Jum’at, 11 Juni 2021

Harga Biodiesel B100 Selangit, Pengusaha Nilai B40 Saja Cukup

Pemanfaatan biodiesel jika terus didorong sampai 100% atau B100, maka harganya akan sangat mahal, bahkan bisa sampai Rp 15.000 per liter. Tingginya harga ini akan terbentur dengan daya beli masyarakat yang masih rendah. Selama ini subsidi biodiesel berasal dari iuran ekspor kelapa sawit. Jika biodiesel digenjot sampai B100, artinya ekspor akan semakin kecil karena banyak diserap di dalam negeri. Tentunya ini juga akan berdampak pada pungutan ekspor sawit yang semakin rendah. Subsidi biodiesel untuk menutupi selisih antara harga diesel berbasis fosil dan biodiesel berbasis minyak sawit (CPO). Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master Parulian Tumanggor berpandangan, pihaknya tidak terlalu mengharapkan pemerintah menjalankan program biodiesel hingga 100% atau B100.  Jika biodiesel terus digenjot sampai B100, maka kebutuhan biodiesel diperkirakan akan mencapai 36 juta kl per tahun. Kebutuhan yang sangat banyak ini belum ditambah dengan kebutuhan lain seperti minyak goreng dan oleochemical. Dengan demikian, akan berdampak pada ekspor yang kecil. “Nggak terlalu ke B100 karena kebutuhan B100 itu 36 juta kl, ditambah kebutuhan dalam negeri untuk minyak goreng, oleochemical. Kalau kecil ekspor, kecil devisa kita, devisa kita berkurang,” tuturnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Kamis (10/06/2021). Dia menyarankan, agar dalam kurun waktu 2-3 tahun ke depan, cukup menggunakan B40. Menurutnya, para pengusaha saat ini tengah memperluas pabriknya jika B40 akan dilaksanakan. “Kalau jadi B40, maka kebutuhan biodiesel paling nggak 14 juta kl, kapasitas terpasang saat ini 12 juta kl. Kalau saya ya, kalau bisa ya 2-3 tahun ke depan cukup B40,” ucapnya. Kemudian, setelah tahun 2024 menurutnya pemerintah bisa lakukan lobi-lobi kembali dengan Eropa, Amerika dan China, sehingga bisa ekspor kembali. Jika tidak ada biaya ekspor, menurutnya minyak sawit akan lebih menguntungkan jika diekspor. Dalam menjalankan program biodiesel menurutnya sejauh ini tidak ada kendala yang berarti. Hanya kendala-kendala kecil yang bisa diatasi seperti dengan Pertamina soal tangki di Balikpapan, transportasi, dan penyerahan tepat waktu. “Menurut saya ini nggak persoalan besar, ini kita sekarang yang penting jaga stabilitas. Bagaimana Covid segera selesai sehingga produksi lancar, harga bisa dijaga,” paparnya.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20210611132620-4-252383/harga-biodiesel-b100-selangit-pengusaha-nilai-b40-saja-cukup

CNBCindonesia.com | Jum’at, 11 Juni 2021

Ternyata Segini Harga Pasar Biodiesel Tanpa Subsidi

Program mandatori biodiesel yang berjalan saat ini baru sampai pada tahap biodiesel 30% atau B30. Ternyata, harga keekonomian B30 ini jauh di atas harga solar subsidi yang dijual di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master Parulian Tumanggor menyebut biodiesel (B30) mestinya dijual dengan harga Rp 11.000 per liter, namun harga jual di SPBU kini hanya Rp 5.150 per liter untuk solar subsidi. Selain adanya subsidi tetap Rp 500 per liter dari pemerintah, selisih harga yang hampir separuhnya ini disubsidi oleh uang pungutan ekspor kelapa sawit dan produk turunannya yang dikumpulkan ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).  “Ini siapa yang subsidi, yang subsidi bukan negara loh, tapi pengusaha yang ekspor duitnya dikumpul BPDPKS. Perlu keseimbangan, kalau nggak ada biodiesel, CPO akan anjlok,” tuturnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Kamis (10/06/2021). Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO) akhir-akhir ini mengalami peningkatan yang stabil. Rata-rata harganya ada di posisi sekitar US$ 1.000 per ton. Di tengah kenaikan harga CPO ini, menurutnya ada kabar baik di mana harga minyak mentah juga mengalami kenaikan, sehingga selisih harga biodiesel dengan solar tidak terlalu jauh. “Sekarang (selisihnya) berkisar Rp 4.600 (per liter), jadi besaran dana BPDPKS untuk solar nggak terlalu tinggi, jadi dana pungutan cukup untuk FAME,” jelasnya. Serapan Fatty Acid Methyl Esters (FAME) untuk pencampuran di dalam diesel berbasis minyak fosil sebesar 30% atau B30, sampai dengan April 2021 telah mencapai 2,68 juta kilo liter (kl). Artinya, serapan FAME mencapai 29,1% dari target tahun ini sebesar 9,2 juta kl. Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengatakan, capaian hingga bulan April 2021 ini lebih rendah daripada tahun lalu sebesar 2,9 juta kl. “Sampai dengan Maret 1,98 juta kl, sementara sampai April 2,68 juta kl. Tahun 2020 (April) angkanya 2,9 juta kl,” paparnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (25/05/2021). Feby menyebut, penurunan serapan sampai April 2021 dikarenakan terjadinya penurunan permintaan diesel di awal tahun. Pasalnya, pada awal tahun 2020 belum terjadi pandemi yang membuat konsumsi diesel masih tinggi. “Terjadi penurunan demand di awal tahun. 2020 bulan Januari dengan realisasi 555.610 kl, sedangkan bulan Januari 2021 sebesar 698.808 kl,” lanjutnya.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20210611143735-4-252407/ternyata-segini-harga-pasar-biodiesel-tanpa-subsidi

BERITA BIOFUEL

Neraca.com | Jum’at, 11 Juni 2021

BPDPKS Dorong CPO Petani untuk Bahan Baku Biodiesel

Sampai saat ini sektor perkebunan kelapa sawit terus berkembang kendati berada dalam masa pandemi Covid19, bahkan dalam kajian yang dilakukan perguruan tinggi di Indonesia, Universitas Jambi dan Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Universitas Wageningen, perkebunan kelapa sawit bisa menjawab isu Sustainable Development Goals (SDGs). Oleh sebab itu Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS), akan terus berupaya mendorong perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Lantas, dengan dinamika pergerakan harga crude palm oil (CPO) dan minyak dunia saat direncanakan penyerapan biodiesel pada tahun 2021 mampu sebanyak 9,2 juta KL. “Diperkirakan kebutuhan dana insentif akan jauh lebih tinggi pada tahun 2021,” kata Plt Kadiv Lembaga Kemasyarakatan Civil Society BPDPKS, Sulthan Muhammad Yusa, dalam FGD Sawit Berkelanjutan Vol 8, bertajuk “Peranan BPDPKS Mendorong Petani Kelapa Sawit Suplai Bahan Baku Biodiesel,” yang diselenggarakan InfoSAWIT, di Jakarta. Lebih lanjut kata Yusa, guna menjaga keberlanjutan program energi baru dan terbarukan (EBT) melalui Mandatori Biodiesel, Pemerintah juga telah menyesuaikan tarif Pungutan Ekspor melalui PMK 191/2020. Karena itu untuk kebutuhan Program Mandatori Biodiesel yang terus meningkat setiap tahun, perlu dibarengi dengan peningkatan produktivitas kebun sawit agar kebutuhan bahan baku biodiesel sawit dapat terpenuhi di masa mendatang. BDPKS memproyeksi produksi CPO dan stok tahun 2021-2025 akan mencapai 52,30 Juta MT – 57,61 Juta MT, rata-rata naik sebesar 4% per tahun. Sementara kebutuhan Biodiesel untuk program B30 tahun 2021-2025 diperkirakan sebesar 8,34 Juta MT 9,66 Juta MT (8.85 Juta KL11.65 Juta KL) rata-rata naik sebesar 5% per tahun. Dengan konsumsi domesti yang stagnan (minyak goreng dan produk oleokimia), Indonesia memerlukan produk hilir yang mampu menyerap stok CPO yang tinggi di tahun-tahun mendatang, yang saat ini dapat ditingkatkan yaitu penggunaan sawit sebagai Energi Baru Terbarukan. Kedepan, tutur Yusa, pihaknya akan mendorong Palm Oil for Renewable Energy: Next Program, yakni melibatkan petani dalam rantai pasok biodiesel sawit. Selain pengembangan biodiesel dengan teknologi Fatty Acid Methly Ester (FAME) juga sedang dikembangkan biodiesel berbasis hydrogenisasi atau kerap disebut biohidrokarbon, yang bisa menghasilkan green diesel, green gasoline, dan green fuel jet (Avtur).

Pengembangan ini akan melibatkan petani dan akan menggunakan teknologi yang bisa diimplementasikan dengan skala tidak besar dan menguntungkan petani kelapa sawit. “Kita perlu mendorong program yang bermanfaat bagi petani yang memang membutuhkan,” kata Yusa. Saat ini pengembangan itu masuk dalam pogram Industrial Vegetable Oil (IVO), dimana pilot project yang dilakukan berada di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Program ini hasil kerjasama dengan Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia (MBI), PT Kemurgi Indonesia dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Sementara itu, Sekretaris Jenderal Serikat Petani kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, menjelaskan dalam program madatori biodiesel sawit, terdapat 18 industri memperoleh jatah untuk penyedia biodiesel yang ditetapkan oleh ESDM, untuk menjalankan program B30. Namun, sayangnya tidak ada prasyarat kemitraan dengan petani. Untuk itu kata Darto, guna menunjang jalannya program tersebut, dilakukandengan menerapkan pungutan ekspor CPO didasarkan pada peraturan mentri keuangan (191 tahun 2020). Lantas, pungutan ini kemudian berdampak pada tergerusnya harga Sawit di tingkat pekebun serta mempengaruhi stabilitas bisnis sawit Indonesia khususnya perusahaan kecil dan menengah/BUMN.  “Berasarka hitungan kami pungutan ekspor itu bisa menggerus harga TBS Sawit petani sekitar Rp 600/kg,” tutur Darto. Merujuk riset yang dilakukan oleh SPKS, memperlihatkan perusahaan besar (yang mengontrol hulu dan juga hilir) dalam contoh kasus Wilmar memperoleh bahan baku dari 32 group perusahaan atau sebanyak 32 perusahaan, 4 di antara – nya perusahaan asing (3 Malaysia dan 1 srilangka). “Ini yang membuat kami petani sangat tersinggung, kenapa program ini justru melibatkan pihak asing, bukannya dengan petani sawit yang memang ada di Indonesia dan menerapkan regulasi yang ditetapkan pemerintah, kenapa kami tidak dilibatkan langsung,” kata Darto. Lebih lanjut, Darto menuturkan pihaknya melakukan tracking di lapangan, faktanya petani sawit swadaya tidak terhubung sama sekali dengan program mamdatori biodiesel, dalam radisu 5 Km saja disekitar wilayah produsen biodiesel petani swadaya tidak diperhatikan atau tidak diajak bermitra. Sedangkan Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, Elis Heviati mencatat, penerapan program mandatori biodiesel dilatarbelakangi Indonesia memiliki potensi produksi minyak sawit mentah (CPO) yang cukup besar yang mana di tahun 2020 produksinya telah mencapai 52 juta ton. Lantas, upaya dalam meningkatkan ketahanan energi nasional, selain itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena dari tutupan lahan sawit seluas 16,38 juta ha sebanyak 40% dimiliiki pekebun sawit (petani sawit). Besarnya defisit neraca perdagangan akibat tingginya impor Bahan Bakar Minyak (BBM), serta upaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dan tercapainya stabilisasi harga CPO. Lebih lanjut kata Elis Heviati, dalam grand strategi rencana energy nasional, di tahun 2030, pemerintah akan tetap mempertahankan kebijakan B30 dan memaksimalkan produksi Bahan Bakar nabati (BBN) dari biodiesel atau biohidrokarbon. Kedepan pemanfaatan biofuel tiak sebatas untuk biodiesel saja, dan tidak terbatas pada pengusahaan skala besar, didorong yang berbasis kerakyatan, untuk spesifikasi menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Termasuk mendorong emanfaatan by product biodiesel, serta pemanfaatan hasil sawit non-CPO.

https://www.neraca.co.id/article/147482/bpdpks-dorong-cpo-petani-untuk-bahan-baku-biodiesel

Katadata.co.id | Sabtu, 12 Juni 2021

Uji Coba B40 Rampung, ESDM Masih Kaji Nilai Keekonomian

Kementerian ESDM telah merampungkan uji coba bahan bakar solar campuran fatty acid methyl ester (FAME) alias biodiesel 40% atau B40. Kementerian masih mengkaji kebijakan pengembangan B40 termasuk menghitung nilai keekonomiannya. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pengembangan B40 secara teknis dapat dilaksanakan. Keputusan ini berdasarkan uji coba Balitbang Kementerian ESDM bekerja sama dengan kelompok kepentingan lainnya. “Kajian lanjutannya adalah memastikan kebijakan ini dapat berjalan secara berkelanjutan di lapangannya, termasuk keekonomiannya,” kata Dadan kepada Katadata.co.id, Jumat (6/11). Pemerintah menunda penerapan program B40 tahun ini karena rendahnya konsumsi bahan bakar minyak atau BBM selama pandemi Covid-19. Selain itu, kondisi harga sawit yang sempat melonjak menjadi tantangan tersendiri untuk mengembangkan bahan bakar jenis ini. Pertamina sebelumnya menyatakan kesiapannya untuk memproduksi hingga B100. Syaratnya, perusahaan migas pelat merah ini meminta dukungan kewajiban pasokan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) CPO. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan, pihaknya meminta agar pemerintah dapat membuat aturan wajib pasok CPO seperti halnya DMO batu bara untuk PLN (Persero). Sehingga ada keberlangsungan ketersediaan pasokan CPO dengan harga jual yang lebih murah dari harga ekspor. “Keberlangsungan dari green diesel dan green gasoline perlu support DMO palm oil, baik volume maupun harga,” kata Nicke beberapa waktu lalu.

https://katadata.co.id/yuliawati/ekonomi-hijau/60c47d7b23e42/uji-coba-b40-rampung-esdm-masih-kaji-nilai-keekonomian

Investor Daily Indonesia | Senin, 14 Juni 2021

BPDPKS Siap Libatkan Petani dalam Rantai Pasok Biodiesel

Pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) siap melibatkan petani atau pekebun Kelapa Sawit dalam rantai pasok biodiesel. Hal tersebut untuk menjaga keberlanjutan program energi baru dan terbarukan (EBT) melalui mandatori biodiesel. Pit Kepala Divisi Lembaga Kemasyarakatan Civil Society BPDPKS Sulthan Muhammad Yu sa menuturkan, untuk menjaga program EBT melalui program mandatori biodiesel maka pemerintah telah menyesuaikan tarif pungutan ekspor (PE) melalui PMK No 191 Tahun 2020, mengingat kebutuhan sawit untuk program tersebut terus meningkat setiap tahun. “Dan hal itu perlu diikuti dengan peningkatan produktivitas kebun sawit agar kebutuhan bahan baku biodiesel dapat terpenuhi di masa mendatang, untuk itu perlu melibatkan para petani atau pekebun sawit di Tanah Air,” kata dia. BPDPKS memproyeksikan, produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan stok komoditas tersebut pada 2021-2025 mencapai 52,30-57,61 juta ton atau rata-rata naik 4% per tahun, sementara kebutuhan biodiesel untuk program B30 pada 2021-2025 sebesar 8,34-9,66 juta ton atau rata-rata naik 5% per tahun. Dengan konsumsi domestik yang stagnan, Indonesia memerlukan produk hilir yang mampu menyerap stok CPO yang tinggi. Karena itu, ke depan BPDPKS akan mendorong program Palm Oil for Renewable Energy:Next Programme yang melibatkan petani dalam rantai pasok biodiesel sawit. Terkait itu, selain dilakukan pengembangan biodiesel dengan teknologi Fatty Acid Methly Ester (FAME), Indonesia juga sedang mengembangkan biodiesel berbasis biohidrokar-bon (hydrogenation) yang bisa menghasilkan green diesel, green gasoline, dan green fuel jet/ avtur. “Pengembangan ini akan melibatkan petani dan menggunakan teknologi yang bisa diimplementasikan dengan skala tertentu atau skala tidak besar tapi menguntungkan petani sawit,” ujar dia dalam diskusi sawit di Jakarta, pekan lalu. Pengembangan biohidrokar-bon kini sudah masuk dalam program Industrial Vegetable Oil (P/0) dengan pilot project di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, dan merupakan hasil kerja sama dengan Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia (MBI), PT Kemurgi Indonesia, dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Semua upaya tersebut sejalan dengan komitmen BP-DKS untuk terus mendorong perkebunan Kelapa Sawit yang berkelanjutan demi menjawab isu Sustainable Development Goals (SDGs). Sementara itu, Koordinator Investasi dan Kerja Sama Bioenergi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Elis Heviati mengatakan, penerapan program mandatori biodiesel Indonesia dilatarbelakangi karena produksi minyak sawit mentah Indonesia yang cukup besar, pada 2020 saja telah mencapai 52 juta ton. Upaya dalam meningkatkan ketahanan energi nasional tersebut juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengingat dengan tutupan lahan sawit seluas 16,38 juta hektare (ha) sebanyak 40% dimiliki pekebun (petani sawit). Dalam grand strategy energi nasional, pada 2030 pemerintah akan tetap mempertahankan kebijakan B30 dan memaksimalkan produksi bahan bakar nabati (BBN) dari biodiesel atau biohidrokarbon. Karena itu, ke depan, pemanfaatan BBN tidak hanya sebatas untuk biodiesel pada pengusahaan skala besar, tapi didorong yang berbasis kerakyatan dan disesuaikan kebutuhan konsumen, termasuk mendorong pemanfaatan by product biodiesel serta pemanfaatan hasil sawit non-CPO. Model kesertaan petard dalam program mandatori biodiesel bisa berupa pengembangan pabrik minyak nabati industrial (FVO) dan bensin sawit dengan bahan baku dari tandan buah segar (TBS) sawit rakyat yang memiliki biaya produksi lebih murah 15-20% dari pabrik Kelapa Sawit (PKS) konvensional, harga TBS lebih stabil serta dapat dikelola oleh Koperasi/BUMD dan SNI IVO sudah terbit.

Berantas Kemiskinan

Ricky Amukti dari Traction Energy Asia mengatakan, melibatkan petani atau pekebun sawit terutama yang mandiri (swadaya) dalam rantai pasok biodiesel sangat dimungkinkan, terlebih pekebun sawit mandiri menguasai 40% dari total luas perkebunan sawit Indonesia. Selama ini, mereka diduga tidak pernah mendapatkan manfaat dari program biodiesel secara langsung. Keterlibatan pekebun sawit mandiri dalam rantai pasok produksi biodiesel akan membantu meningkatkan kesejahteraan dan memberantas kemiskinan, termasuk mengurangi risiko deforestasi dan menjaga hutan alam yang tersisa. Penggunaaan TBS sawit dari lahan pekebun mandiri juga dapat mengurangi emisi dari keseluruhan daur produksi biodiesel. Saat ini, kondisi rantai pasok TBS dari petani atau pekebun ke pabrik Kelapa Sawit (PKS) bervariasi, panjangnya rantai pasok itu mengurangi keuntungan mereka. “Dengan mandatori biodiesel diharapkan bisa menjadi momentum dalam memperbaiki rantai pasok dari petani,” ujar dia seperti dilansir Antara. Biasanya, PKS jarang menempatkan petani atau pekebun mandiri sebagai pemasok bahan baku karena terkait karakteristik usahanya, rata-rata skala usaha mereka masih terbatas dengan luas lahan di bawah 3 ha, modal kerja minim, pengelolaan manajemen usaha masih tradisional, dan tingkat produktivitas rendah. Hambatan eksternal yang dihadapi petani atau pekebun sawit mandiri adalah akses pasar yang terbatas dan harga jual TBS yang tidak sebanding dengan biaya pokok produksi. Salah satu cara untuk menjamin keberlangsungan usaha petani atau pekebun mandiri adalah dengan memberikan jaminan pasar. Karena itu, ke depan pengadaan TBS oleh PKS sebaiknya menempatkan petani atau pekebun mandiri sebaga pelaku rantai pasok CPO melalui kerja sama kemitraan berbasis karakteristik usaha.

Katadata.co.id | Sabtu, 12 Juni 2021

Mengenal Biosolar B30, Bagaimana Pertamina Menyalurkannya? (Pertamina sedang melakukan rekonfigurasi pola suplai biosolar B30 di 30 titik untuk meningkatkan keandalan pasokan)

Penyaluran bahan bakar nabati (BBN) biosolar B30 telah mencapai 5.518 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Indonesia. Pertamina sedang melakukan rekonfigurasi pola suplainya di 30 titik untuk meningkatkan keandalan pasokan. Selain itu, perusahaan juga memanfaatkan terminal bahan bakar minyak atau TBBM di 114 lokasi untuk mencampur sekaligus menyalurkan B30. Dari Januari hingga Mei 2021, penyaluran biosolar bersubsidi yang Pertamina lakukan mencapai 5,3 juta kiloliter. “Pertamina telah menyalurkannya sebesar 13,3 juta kiloliter pada 2020,” kata Direktur Perencanaan & Pengembangan Bisnis Pertamina Patra Niaga (Subholding Commercial & Trading Pertamina) Mars Ega Legowo Putra dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/6).  Pejabat Sementara (Pjs) Senior Vice President Corporate Communications & Investor Relation Pertamina Fajriyah Usman mengatakan, perusahaan akan memperkuat fasiltias produksi BBN atau biodiesel. “Kami sedang menuntaskan pembangunan infrastruktur dengan fokus pembangunan terminal BBM di kawasan timur Indonesia,” ujarnya.  Apa Itu Biosolar B30? Melansir laman resmi Pertamina, B30 merupakan campuran 30% fatty acid methyl ester (FAME) dan 70% campurannya adalah solar. Produk FAME berasal dari olahan minyak kelapa sawit atau CPO. Dari pengolahan ini, FAME kemudian disalurkan ke titik-titik penerimaan BBM, baik kapal maupun mobil tangki. Namun, sebelum itu, kualitasnya diuji untuk memenuhi standar dan siap memasuki tahap pencampuran. Dengan kebijakan B30, produksi biodiesel nasional terus bertambah. Pada 2019, jumlahnya mencapai 8,37 juta kiloliter, melebihi target 7,37 juta kiloliter

Tujuan Pemakaian B30 B30 dapat menjadi energi alternatif pengganti BBM. Pemerintah menerapkan program biosolar ini dalam rangka meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi serta nilai tambah industri kelapa sawit.  Selain itu, bahan bakar tersebut relatif lebih bersih dan dapat mengurangi emisi karbon. Pemerintah berharap pemakaian biodiesel dapat mengurangi impor BBM yang selama ini membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) ikut berkurang. Implementasi B30 menghemat devisa sebesar Rp 63 triliun. Artinya, BBN ini daapt membantu meningkatkan perekonomian Indonesia melalui pengurangan volume impor solar.  Selain itu, manfaat lainnya ialah penggunaan biosolar B30 ini juga akan meningkatkan performa mesin. FAME yang bersifat detergency mampu membersihkan mesin kendaraan maupun mesin industri dengan lebih baik ketimbang BBM.  “B30 juga meningkatkan penggunaan produk dalam negeri karena menjaga keberlangsungan industri sawit dalam negeri sebagai penyedia bahan baku dan meningkatkan kesejahteraan petani sawit,” kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyati dalam peluncuran B30 pada Desember 2019. Bagaimana Penyalurannya? Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, biosolar B30 nantinya akan dijadikan bersubsidi. Penyalurannya menyasar usaha mikro, usaha pertanian hingga pelayanan umum. Kendati demikian, masyarakat dapat memakai kuota biosolar (B30) di setiap wilayah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut, program B30 sudah berjalan sejak Januari 2020. Hingga akhir tahun lalu, realisasi pemanfaatan B30 di dalam negeri mencapai 8,46 juta kiloliter (KL). Jumlah ini sebenarnya lebih rendah dibandingkan target awal yang ditetapkan pemerintah sebesar 9,59 juta KL. Capaian program B30 tahun lalu memang cukup dipengaruhi oleh pandemi Covid-19 yang membuat mobilitas kendaraan berkurang drastis. Di 2021, pemerintah menetapkan target penyaluran biodiesel B30 sebesar 9,20 juta KL. Target tersebut bisa terpenuhi seiring pemulihan ekonomi nasional.

https://katadata.co.id/sortatobing/berita/60c3301497d12/mengenal-biosolar-b30-bagaimana-pertamina-menyalurkannya

Portonews.com | Jum’at, 11 Juni 2021

Pertamina Salurkan Biosolar di 5518 SPBU

Memasuki tahun 2021, permintaan terhadap bahan bakar biosolar B30 telah merata. Saat ini terdapat 5.518 SPBU di Indonesia sudah menyalurkan biosolar B30. Direktur Perencanaan & Pengembangan Bisnis PT. Pertamina Patra Niaga (Subholding Commercial & Trading Pertamina), Mars Ega Legowo Putra mengatakan Pertamina terus meningkatkan keandalan suplai B30 dengan melakukan rekonfigurasi pola suplai biodiesel di 30 titik suplai dan memanfaatkan seluruh TBBM di 114 lokasi untuk mencampur sekaligus menyalurkan BBM B30 di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data Pertamina realisasi penyerapan pada tahun 2020 mencapai 89% yaitu 7,14 juta KL dari alokasi sebesar 8.02 juta KL. Pada tahun 2021, sesuai Kepmen ESDM 252/2020 Pertamina mendapatkan alokasi untuk menyerap biodiesel/FAME sebesar 7,81 juta KL, dimana hingga Mei 2021 serapan FAME telah mencapai 2,96 juta KL. “Sejalan dengan kebijakan mandatory implementasi biodiesel di seluruh sektor, Pertamina telah menyalurkan biosolar subsidi sebesar 13,3 juta KL di tahun 2020, sedangkan tahun 2021 dari Januari hingga Mei, Pertamina telah menyalurkan 5,3 juta KL,” jelas Mars Ega. Menjawab kebutuhan pasar domestik dan ekspor, Pjs Senior Vice President Corporate Communications & Investor Relations, Fajriyah Usman menyampaikan Pertamina akan memperkuat fasilitas produksi melalui pengembangan Biorefinery dan pengembangan infrastruktur sektor hilir. “Untuk menjangkau wilayah yang lebih luas, saat ini Pertamina sedang menuntaskan pembangunan infrastruktur BBM dengan fokus pembangunan Terminal BBM di Kawasan Timur Indonesia,” ujar Fajriyah Fajriyah menambahkan bahwa untuk meningkatkan produksi biodiesel, Pertamina melalui Subholding Refinery and Petrochemical memiliki roadmap untuk pengembangan Green Fuel berupa HVO (Hydrotreated Vegetable Oil) atau D100 berupa modifikasi dan pengembangan unit Grass Root untuk produksi Green Diesel D100 yang berlokasi di Kilang Dumai, Cilacap, dan Plaju. “Sebagai salah satu upaya Pertamina untuk kedaulatan energi nasional, pengembangan-pengembangan BBM terus dijalankan diantaranya dengan terus mengembangkan produksi green gasoline dan green diesel di Cilacap. Pertamina akan terus mendaya gunakan segala sumber daya alam domestik guna mendukung kemandirian dan kedaulatan energi nasional,” pungkas Fajriyah.

Harian Kontan | Sabtu, 12 Juni 2021

Perlukah Tarif Bea Ekspor CPO Turun?

Belakangan ini ramai beredar berita bahwa pemerintah akan menurunkan tarif pungutan ekspor minyak Kelapa Sawit (CPO) dan turunannya. Tarif minimal pungutan ekspor CPO sebesar USS 55 per ton akan dikenakan ketika harga referensi lebih besar daripada USS 750 per ton. Tarif pungutan tersebut akan naik USS 20 per Um setiap kenaikan lunya referensi CPO sebesar USS 55 per ton. Tarif maksimal USS 175 per ton akan dikenakan ketika harga acuan rnelebihi harga USS 1.000 per ton. Di Peraturan Menteri Keuangan No 191/PMK.05/2020 yang berlaku awal Desember 2020, pemerintah menetapkan tarif pungutan ekspor CPO sebesar USS 55 per ton ketika harga acuan CPO USS 670per ton atau lebih rendah. Tarif pungutan ekspor naik secara progresif hingga level maksimum USS 255 per ton, ketika harga acuan CPO lebih tinggi dari USS 955 per ton. Tarif yang berlaku saat iki jauh lebih tinggi dari peraturan sebelumnya. Untuk tarif ekspor CPO yang berlaku periode Juni-November 2020 ditetapkan hanya USS 55 per ton untuk semua level harga CPO. Sebagai informasi, dana pungutan ekspor CPO tersebut dikelola dan disalurkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk pengembangan sektor Kelapa Sawit Indonesia. Misalnya program insentif biodiesel, program peremajaan sawit rakyat, program penelitian sawit dan berbagai program promosi produk kelapa sawit. Salah satu latar belakang pemerintah meningkatkan tarif pungu la n ekspor CPO pada Desember 2020 adalah ketia ikan biaya subsidi produksi biodiesel akibat melebarnya perbedaan harga (gap) antam harga CPO dan harga solar. Rata-rata subsidi biodiesel pada semester 11-2020 mencapai Rp 4.500 per liter, lebih tinggi dari rata-rata subsidi pada semester 1-2020 yang hanya Rp 3.500 per liter. Dampaknya, dana kelolaan BPDPKS kian menipis sehingga memaksa pemerintah meningkatkan tarif pungutan ekspor CPO untuk menjaga keberlangsungan program biodiesel di Indonesia. Keberlangsungan program biodiesel di Indonesia relatif penting untuk menjaga permintaan CPO global. Pasal- nya, program biodiesel Indonesia mampu menyemp 8-9 juta ton CPO per tahun, sekitar 10% dari produksi CPO global atau sekitar 17% dari produksi CPO Indonesia. Jika ptvgram ini berhenti, maka akan ada kelebihan suplai 10% dari produksi CPO global dan akan menekan harga CPO hingga pwduksi dan permintaan kembali seimbang. Oleh karena itu, program ini tetap perlu diimplementasikan, namun dengan penyesuaian agar tak merugikan beberapa pihak terkait. Kembali ke wacana penurunan tarif pungutan ekspor. Wacana itu disambut baik oleh para eksportir CPO kaiv- na ta-rif saat ini dirasa cukup memberatkan. Pertama, pemerintah mengenakan pungutan ekspor CPO USS 255 per ton pada Mei 2021. Selanjutnya, ditambah bea keluar USS 144 per ton pada bulan yang sama. Alhasil, total bia-ya ekspor mencapai USS 399 per ton atau 35,9% dari haixja acuan CPO di bulan itu USS 1.111 per ton. Jika rencana tarif baru ditetapkan, maka maksimal pungutan USS 175 per ton ketika harga CPO di atas USS 1.000 per ton. Jadi, total biaya pungutan ekspor yang dikeluarkan menjadi USS 319 per ton, atau 28,7% dari harga acuan bulan Mei 2021. Kami menilai rencana revisi tarif pungutan ekspor CPO adalah langkah yang baik bagi seluruh pihak. Penurunan tarif pungutan akan meningkatkan keuntungan eksportir sehingga mampu memiliki dana lebih untuk ekspansi bisnis. Petani sawit juga bisa menikmati penurunan tarif ini, sehingga harga tandan buah segar bisa naik. Artinya, penerimaan petani akan naik dan mendorong daya beli mereka di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Selain itu, kami menilai, penurunan tarif pungutan tidak akan banyak mempengaruhi pencapaian target pivduksi biodiesel. Hitungan sederhana kami adalah jika target penyaluran biodiesel tahun 2021 sebanyak 9,2 juta kiloliter dengan asumsi subsidi Rp 5.000 per liter, subsidi yang dibutuhkan sekitar Rp 46 triliun atau setara sekitar USS 3,2 miliar. Dengan volume ekspor CPO yang diasumsikan sama dengan tahun lalu, yaitu 25,9 juta ton, dana pungutan ekspor yang dibutuhkan sebesar USS 122 per ton. Perlu diingat, perhitungan ini belum termasuk pemasukan dari produk turunan CPO sehingga kebutuhan pungutannya masih bisa menunin. Kami optimis BPDPKS tetap dapat menutup pengeluaran terbesarnya, yaitu subsidi biodiesel. Program biodiesel Indonesia pu?i tetap dapal dilaksanakan sehingga memberikan sentimen positif bagi permintaan dan menjaga harga CPO global. Akan tetapi, salah satu hal yang dapat dikembangkan adalah optimalisasi pemanfaatan dana pungutan ekspor CPO untukprogixim BPDPKS yang lain, seperti replanting dan promosi produk CPO.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *